Rabu, 16 Februari 2011

"Saat Menentukan PiLihan itu Sangat Berat"

Tidak Sekadar Menaati Kewajiban Moral
Bagian pertama dari dialog itu menonjolkan beberapa aspek yang sebenarnya adalah bagian dari hidup kita. Mari menyebut beberapa kata kunci: memilih atau pilihan, yang terbaik, suara hati, belajar dari pengalaman (masa lampau), dan hidup adalah pilihan. Perhatikan bahwa semua ini adalah bagian dari pengalaman riil keseharian manusia.
Para filsuf sibuk dengan pertanyaan “what should I do?” Ini adalah pertanyaan etika, karena jawaban atasnya menunjukkan bagaimana seseorang mendasarkan tindakan-tindakannya pada prinsip-prinsip moral tertentu. Kalau kita bertanya kepada mereka, kalau Anda sudah menemukan jawaban atas pertanyaan itu, apa tujuan Anda melakukan suatu tindakan tertentu? Di sini seorang Immanuel Kant, misalnya, akan mengatakan, bahwa dia memilih bertindak dalam cara tertentu, karena prinsip moral yang mendasari tindakannya dia kehendaki (baca: dia mau) agar berlaku umum (siapa saja boleh menjadikannya sebagai prinsip tindakannya). Bahwa kalau prinsip tindakan itu sudah berlaku umum, setiap orang yang rasional, begitulah harapan Kant, akan mematuhi prinsip moral itu, bukan agar dipuji atau mendapat nama baik. Alasan utama mematuhi prinsip moral itu adalah kewajiban mematuhi hukum moral itu sendiri.
Ketika menghadapi sebuah pilihan yang sulit dan teman saya harus memilih atau tidak memilih alias meninggalkannya, pertanyaan “what should I do?” barangkali masih relevan dan akan tetap relevan. Tetapi ketika dia sudah memilih, apakah pilihannya itu atas dasar semata-mata kewajiban terhadap prinsip moral yang sudah diyakininya sebagai yang berlaku universal, atau pertimbangan lain? Tampaknya temanku itu tidak mengerti apakah pilihan tindakannya semata-mata karena kewajiban mematuhi prinsip moral yang dia kehendaki sebagai berlaku universal. Yang dia ketahui adalah bahwa dia mendapatkan dirinya berada dalam situasi memilih dan dia menganggap sebagai kewajiban untuk memilih yang terbaik. Berdasarkan apa? Dia akan mendasarkannya pada suara hatinya.
Di sini kita sungguh-sungguh melihat perbedaan antara orang yang tindakan-tindakannya semata-mata bersifat formal (bahasa filsafat Kantian) demi mematuhi prinsip moral yang diyakininya sebagai berlaku universal. Orang semacam ini tidak peduli akibat atau konsekuensi tindakan apa yang akan timbul karena tindakannya tersebut. Sahabatku persis kebalikannya. Belajar dari pengalaman memilih di masa lampau dan akibat-akibat ikutannya, muncul semacam kebijaksanaan bahwa dia akan memilih hanya yang terbaik. Berdasarkan apa? Tentu berdasarkan akibat-akibat baik dan buruk yang ditimbulkan oleh pilihan-pilihan semacam itu. Itulah sebabnya dia begitu yakin, bahwa hidup manusia ini pada akhirnya adalah sebuah pilihan. Ya, hidup memang bergerak selalu dalam ketegangan antara memilih berbagai tawaran pilihan di hadapan mata.
Baiklah, kita coba ikuti lebih lanjut dialog kami berikut! Saya coba mendalami konsep “hidup sebagai pilihan” yang sahabat saya kemukakan di atas.
Saya:
Kadang hidup sebagai pilihan hanyalah sebuah rasionalisasi (orang biasa mengistilahkannya sebagai “menghibur diri”) ketika orang berada dalam kepahitan hidup sementara dia melihat orang lain berada dalam keadaan hidup yang lebih baik. Cara pandang ini hanya akan menghasilkan manusia yang pesimistik atau yang bermental “nrimo”.
Dia:
Cara pandang tersebut memang dialami oleh kebanyakan orang karena mereka mungkin masih merasa nyaman dengan keadaan mereka saat ini.. tapi mereka berani tidak untuk memilih keluar dari “COMFORT ZONE” mereka untuk pilihan yang lebih baik..itu yang terkadang tidak kita sadari..
Keberanian Memilih
Sebagai latar belakang, dialog kami ini sama sekali tidak direncanakan sebelumnya. Karena itu, begitu mendengar dia mengatakan bahwa hidup adalah pilihan atau menurut pemahaman saya adalah ketegangan di antara berbagai pilihan yang menampakkan diri kepada kita, saya coba “mendesak” dia untuk mendalami apa artinya hidup sebagai pilihan itu. Bagi saya, mengatakan hidup sebagai pilihan bisa bermakna ganda. Di satu pihak, ada optimisme bahwa menghadapi berbagai pilihan dalam hidup, seseorang akan mampu memilih yang tebaik. Mungkin seperti sahabat saya ini. Tetapi di lain pihak, ada nada pesimisme dan kepasrahan pada pilihan yang sudah dibuat, terutama ketika pilihan-pilihan itu bukanlah yang terbaik. Perasaan semacam ini menjadi sangat kuat, misalnya ketika melihat ada rekan kerja atau sahabat yang lebih sukses meniti karier dibandingkan dengan kita.
Tentu ada bahaya semacam itu, tetapi tampaknya sahabat saya itu lebih tepat dimasukkan ke dalam kelompok mereka yang selalu optimis. Optimisme semacam inilah yang pada akhirnya mendorong orang untuk keluar dari apa yang dia sebut sebagai zona aman (comfort zone) dan memilih melakukan hal yang lain, betapa pun pilihannya itu tampak tidak mengenakkan.
Mari kita ambil contoh praktis. Seorang karyawan berada dan bekerja di sebuah perusahaan yang modern, maju, dan kaya. Suatu waktu dia diangkat menduduki jabatan penting dalam perusahaan tersebut. Seiring berjalannya waktu, suatu saat dia menyaksikan sendiri betapa perusahaan itu sudah sering melanggar undang-undang. Misalnya, tidak jujur membayar pajak, tidak jujur membayar gaji karyawan, menipu konsumen, dan sebagainya. Kita pakai pemahaman sederhana kawan saya di atas, suara hati akan mengatakan kepada karyawan ini, bahwa apa yang dipraktikkan itu salah. Di sini sang karyawan persis berhadapan dengan pilihan hidup, apakah menerima saja keadaan—zona aman yang dinikmati sekarang sayang kalau ditinggalkan—atau mengoreksinya. Koreksi bisa dilakukan dengan tetap berada dalam perusahaan tersebut, tetapi ketika tidak ada tanda-tanda perubahan, pilihan lain harus diambil. Pilihan yang paling sulit tentulah menuruti hati nurani dan meninggalkan pilihan itu.
Koq mau meninggalkan perusahaan. Lagi-lagi di sini dibutuhkan keberanian moral. Kata sahabat saya di atas, kebanyakan kita memang lebih mencintai zona aman dari pada mengambil risiko hanya karena idealisme kita. Ya, saya setuju itu! Saya sendiri pun khawatir apakah bisa mengambil keputusan seradikal itu. Meskipun demikian, paling tidak sahabat saya itu, dalam kesederhanaannya, menyadarkan saya, betapa memilih itu berat, karena itu perlu keberanian moral. Saya yakin, pada akhirnya hanya orang-orang yang berkeutamaan morallah yang sanggup memilih manakah yang baik dan benar secara moral, dan bukan manakah yang lebih menguntungkan atau menyenangkan.
Benar sekali, kita memang masih terus belajar untuk memilih!
Menentukan pilihan hidup memang bukan perkara mudah, apalagi jika resiko didalamnya diperkirakan sama-sama memiliki imbas yang cukup besar yang tidak hanya pada diri sendiri tapi juga pada orang disekitarnya.
Dalam posisi seperti ini, rasionalitas jelas harus dijaga agar selalu lebih unggul daripada emosi hati. Meski sudahlah mafhum rasanya tidak ada rasionalitas yang meluap-luap, sebaliknya yang sering ada adalah emosi yang meluap-luap. Dengan kata lain, kalaulah ada “the power of nekad”, maka tentu harus pula diimbangi dengan “rasa syukur yang dahsyat!”
Dan karena hidup itu sendiri adalah pilihan, maka sesulit apapun mau tidak mau tetap harus memilih. Kalau sudah begini, rasanya penting untuk dicatat seperti apa kata Albert Einstein, ” berupayalah tidak hanya menjadi manusia yang sukses, tapi juga menjadi manusia yang bernilai.”
Maka pilihan hidup yang baik tentu tidak hanya semata agar menjadi manusia yang sukses, tapi juga bagaimana menjadi manusia yang bernilai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar